Senin, 04 Januari 2016

6 Startup Berpeluang Menaklukkan Asia Tenggara di tahun 2016


Sepertinya tahun 2015 masih menjadi tahun yang menakjubkan bagi startup di Asia Tenggara. Mengacu pada database milik Tech in Asia, jumlah keseluruhan pendanaan venture capital dari kuartal tiga tahun 2014 hingga periode yang sama pada tahun ini ada di angka $1,7 miliar (sekitar Rp 23 triliun), dua kali lipat lebih besar dari setahun sebelumnya.
Meskipun pendanaan di wilayah ini masih jauh dari apa yang didapatkan India, yang dapat menarik dana investasi startup sebesar $6,4 miliar (sekitar Rp 88,5 triliun), namun Asia Tenggara masih bisa optimis.
Di penghujung tahun 2015 ini, kita bisa mengintip apa yang akan terjadi pada tahun depan. Dalam artikel ini, kami melacak enam startup yang dapat memberi pengaruh besar di Asia Tenggara tahun 2016, termasuk tren baru yang mereka bawa.
Honestbee: Pertarungan filosofi
Startup asal Singapura, Honestbee, tampil sebagai layanan yang mengirimkan para pegawai mereka untuk membeli kebutuhan grosir kita. Honestbee adalah versi Asianya Instacart. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk memperoleh $15 juta (sekitar Rp 207,5 miliar) dari investor untuk ekspansi secara regional.
Ini memberi mereka waktu untuk membuktikan bahwa model bisnis mereka bisa berhasil. Dengan pendekatan yang sama, Honestbee dan Happyfresh asal Indonesia berada di posisi yang sama. Redmart-nya Singapura berada di posisi yang lain.
Honestbee percaya mereka dapat berkembang cepat dengan memanfaatkan infrastruktur supermarket yang sudah ada untuk mengirim barang kepada konsumen. Ini adalah model aset rendah yang membutuhkan modal eksternal lebih sedikit.
Redmart menentang pendekatan ini. Mereka merasa model bisnis Honestbee secara keseluruhan lebih tinggi. Bisa-bisa konsumen harus membayar lebih banyak. Redmart lebih memilih membangun infrastruktur dari nol. Biayanya meningkat cepat, tapi tertutupi lewat investasi yang mereka dapatkan.
Tahun 2016 akan menjadi tahun yang krusial bagi keduanya. Bagi Honestbee, mereka perlu meningkatkan volume pemesanan agar bisnis mereka bertahan. Mereka harus melakukannya tanpa membebankan biaya tambahan terhadap konsumen—atau setidaknya berharap mereka mendapat cukup keuntungan dari konsumen yang tidak keberatan membayar lebih.
Bagi Redmart, mereka perlu mendapatkan lebih banyak pendanaan, khususnya rencana mereka ekspansi ke Hongkong mungkin akan memerlukan investasi yang besar. Agar Redmart bisa menarik pendanaan, tantangan terberatnya adalah meyakinkan investor akan model bisnis yang belum terbukti kesuksesannya ini. Sebagai pertimbangan, sejauh ini Asia lebih condong terhadap e-commerce dengan aset rendah.
Seperti misalnya Lazada yang berkembang dari perusahaan dengan inventori sendiri menjadi sebuah marketplace. Lalu ada Alibaba, yang saat awal kemunculannya, menghubungkan satu bisnis dengan bisnis lainnya namun tidak bermain di logistik.
Redmart bergerak secara perlahan namun pasti, dan, sejauh yang kami tahu, tahun depan startup ini masih hanya tersedia di Singapura dang Hong Kong, meski telah berdiri sejak tahun 2012.
GO-JEK: Memberi perlawanan kepada GrabTaxi
GrabTaxi mungkin bisa dikatakan sebagai rajanya aplikasi booking taksi di Asia Tenggara, namun mereka tetap harus siaga dengan kompetitor yang ada.
GrabTaxi boleh menjadi pilihan teratas saat kita ingin memesan taksi, namun raksasa di bisnis yang sama, Uber, adalah pilihan yang tepat jika kita mencari privasi. Lalu, untuk urusan bus shuttle di Filipina, U-Hop adalah aplikasi on-demand paling utama.
Sedangkan di Indonesia ada GO-JEK, transportasi on-demand berbasis sepeda motor. Popularitas startup ini "meledak" pada tahun 2015. Meski GO-JEK menolak untuk membeberkan berapa jumlah rider mereka, sebuah sumber mengatakan kepada kami bahwa pertumbuhannya terbilang mengejutkan.
Helm bertuliskan GO-JEK kini bertebaran di jalanan macet Jakarta, dan startup ini berhasil menerima pendanaan dari venturecapital papan atas, Sequoia.
Tak diragukan lagi, GO-JEK memiliki target pada tahun 2016. Mereka sedang menghadapi kesulitan dan merasa semakin sulit memuaskan para ridernya. Mereka telah melakukan uji coba layanan pesan antar sebagai bagian dari fitur utama.
Itu selangkah di depan Uber yang hanya berkecimpung di bidang logistik sebagai strategi marketing saja. GO-JEK perlu melewati ujian ini untuk sampai di level tertinggi.
Belazee: Bisakah mereka menghadirkan keajaiban di Asia Tenggara?
Pada tahun 2015, Magic muncul dari akselarator startup ternama, Y Combinator, dengan pendanaan Sequoia senilai $40 juta (sekitar Rp 553,5 miliar).
Keunggulan utamanya? Mereka berfungsi sebagai kurir yang dapat dipesan lewat SMS untuk berbagai keperluan, entah itu berbelanja di Amazon atau memesan makanan di GrubHub. Katakan saja layanan apa yang kita inginkan, dan mereka akan menanyakan kita beberapa pertanyaan sebelum menerima pesanan.
Pada dasarnya, Magic mempermudah transaksi kita dengan layanan e-commerce yang sudah ada. Dan, dengan kenyamanan yang ditawarkan, mereka yakin konsumen mau mengeluarkan biaya ekstra.
Startup semacam ini menjamur di berbagai tempat. Di Asia Tenggara, Be Lazze (atau Be Malas dalam bahasa Malaysia) berada di garis depan setelah mendapatkan seed funding. Ada juga startup serupa seperti Djenee (dilafalkan "genie") dan YesBoss. Facebook juga ikut meramaikan persaingan dengan M, yang memadukan mesin dan manusia untuk memenuhi permintaan pengguna.
Kami tak tahu apakah model bisnis seperti ini akan berhasil di Asia—begitupun wilayah lain. Bahkan Magic sendiri belum dapat dikatakan berhasil. Pada tahun 2016, Be Lazee dan kawan-kawan harus membuktikan kalau mereka tidak sedang menuju jurang kegagalan.
Carousell: Ditantang dari segala penjuru
Carousell, startup favorit di Singapura saat ini, adalah perusahaan pertama yang bermain di model e-commerce mobile dari konsumen ke konsumen di Asia Tenggara. Carousell adalah salah satu aplikasi gaya hidup yang sedang tren di beberapa negara. Kami dengar, volume barang yang mereka jual mencapai ratusan juta.
Meski begitu, kejayaan mereka sedang dalam ancaman.
Facebook sedang berusaha mengubah layanan mereka lebih ke arah marketplace. Shopee, aplikasi milik Garena, perusahaan teknologi asal Asia Tenggara dengan sumber daya melimpah, termasuk di dalamnya. Selain jumlah unduhan aplikasi mereka fantastis, Shopee punya fitur yang tidak dimiliki Carousel: Pembayaran dalam aplikasi beserta layanan pesan antar.
Dan kami belum menyinggung Tokopedia, Bukalapak, Duriana, dan Trezo. Karena persaingan di bisnis ini semakin ramai, masing-masing harus memilih antara konsolidasi yang tak bisa dihindari atau gulung tikar.
Kami belum melihat bagaimana Carousell akan bereaksi terhadap kedatangan Shopee. Meskipun Carousell adalah yang pertama, mereka belum juga memperkenalkan fitur pembayaran atau logistik. Akankah mereka akan bernasib sama seperti Friendster? Ataukah mereka akan menjawab tantangan dengan percaya diri.
Ninja Van: Menghadapi para raksasa
Ninja Van melihat booming-nya e-commerce di Asia Tenggara sebagai peluang untuk menyediakan jasa antar satu hari. Startup ini menyatakan telah mengembangkan semacam algoritma untuk mempercepat pengiriman barang, menekan biaya, selain juga lebih dapat diandalkan.
Keunggulan utama Ninja Van adalah mereka mampu menangani permintaan antar barang yang tiba-tiba membludak. Ini dilakukan dengan memanfaatkan mobil-mobil milik perusahaan lain yang sedang tak digunakan. Baru-baru ini, Ninja Van ekspansi ke Indonesia. Di sini, keandalan layanan mereka akan diuji.
Ninja Van berkompetisi dengan sejumlah pemain lain di wilayah yang sama. Seperti Singpost yang keunggulannya terletak pada kerja sama mereka dengan raksasa e-commerce asal China, Alibaba, dan keahlian mereka mengirimkan barang lintas negara.
Sementara itu, Rocket Uncle juga ingin menguasai bisnis layanan pesan antar satu hari. Bahkan GO-JEK sedang berbenah untuk menjadi pemain di bidang logistik dengan mengandalkan para rider mereka. Anchanto, Courex, dan aCommerce juga membidik pasar yang sama.
Melihat e-commerce akan terus tumbuh di negara berkembang, semua startup ini memiliki kesempatan yang sama untuk bertahan. Namun, mengingat ini adalah permainan volume, ada kemungkinan terjadinya merger.
Iflix: Venture besar milik Patrick Grove?
Patrick Grove mungkin baru saja ditasbihkan menjadi pebisnis internet paling sukses di Asia Tenggara dengan exit terbarunya, iProperty, yang dihargai senilai $534 juta (atau sekitar Rp7,3 triliun). .
Jadi apa rencana Patrick selanjutnya? Lewat situs online streaming iFlix, ia ingin menggulingkan industri TV dan TV kabel di Asia.

Sayangnya, pemilihan waktu untuk terjun di ranah ini tampaknya kurang tepat.
Netflix akan masuk ke Asia. Mereka menghadirkan sekumpulan konten produksi sendiri yang sangat menarik. Belum lagi operator telekomunikasi terbesar di Singapura, SingTel, telah meluncurkan Hooq. HGO Go juga sudah masuk ke Singapura dengan menggandeng perusahaan TV kabel StarHub.
Ditambah lagi, sistem berlangganan konten di pasar berkembang tergolong sukses karena konsumen rela membayar. Ini merupakan ranah yang sangat dikuasai oleh Netflix. Sehingga rencana mereka ekspansi ke Asia bagai gayung bersambut. Netflix sudah diluncurkan di Jepang dan akan memulai debutnya di Singapura, Korea, Hong Kong, serta Taiwan pada tahun 2016.
Pasar di negara berkembang sudah dalam genggaman, namun Netflix belum menunjukkan strategi apa yang akan mereka terapkan. Mengingat rendahnya daya beli konsumen dan enggannya mereka mengeluarkan uang untuk menikmati konten, Netflix mungkin perlu menurunkan skema harganya.
iFlix dan Hooq yang hadir duluan di Asia menawarkan biaya langganan $3 (sekitar Rp 41 ribu) per bulan, jauh lebih rendah dari paket paling murah Netflix yang berada di angka $7,99 (Rp 109 ribu).
Tak seperti Netflix, iFlix dan Hooq memperbolehkan pelanggan untuk mengunduh video agar bisa ditonton offline. Juru bicara iFlix mengatakan kepada Tech in Asia bahwa ini merupakan fitur penting di negara-negara dengan akses internet lambat dan tak stabil.
"Pengguna tak perlu koneksi internet untuk menikmati tontonan di iFlix. Ini membuka peluang bertambahnya pelanggan serta menyingkirkan keharusan memiliki akses internet berkecepatan tinggi. Pengguna dapat mengunduh saat koneksi sedang bagus, dan menontonnya secara offline saat koneksi sedang lambat. Ini juga menjamin pengalaman menonton yang sempurna bagi pelanggan," tambahnya. (Adnan Ghifari)
Sumber: Terence Lee, https://id.techinasia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar